Mungkin masih kuat tertanam ingatan di dalam kepala kita, ketika Undang-undang Nomor 23 tahun 2000 tentang Provinsi Banten yang disambut dengah haru itu lahir, dan menetapkan Serang sebagai ibu kota provinsinya, maka sejak itu gagasan dan keinginan pembentukan Kota Serang mewacana. Lazimnya sebuah ibu kota provinsi adalah kota otonom. Walau, kadangkala tidak pernah terlepas dari kepentingan elit politik Banten untuk berbagi “kue-kue” kekuasaan.
KARAKTER KOTA
Saat ini tidak penting lagi kita setuju atau tidak. Toh, anggukan dan gelengan kepala kita tidak akan berarti apapun. Kota ini telah legal berdiri pada hari Selasa 17 Juli 2007 dan RUU Serang disahkan oleh DPR/MPR-RI menjadi Undang Undang Nomor 32 tahun 2007 dengan pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya mengandalkan sektor jasa dan perdagangan. Mal-mal berdiri di sana-sini dengan dalih mendongkrak PAD. Sisanya “utang” belanjanya tentu saja wajib dibebankan pada rakyat; retribusi Kartu Tanda Penduduk (KTP), akta keluarga, kelahiran, dan pengurusan surat-surat lainnya yang seharusnya gratis malah menjadi bisnis yang menggiurkan bagi pemerintah kota.
Di sisi yang lain, dalih mengeruk PAD ternyata mengorbankan sisi lain kota ini; fungsi sosial dan fungsi budaya di(ter)lupakan. Kita jadi kehilangan trotoar untuk berjalan kaki, kehilangan ruang terbuka hijau berganti dengan pertokoan, kehilangan pandangan karena terhalang oleh baligo-baligo yang bertebaran di sepanjang jalan, kehilangan alun-alun yang nyaman, kehilangan bioskop, kehilangan gedung-gedung tua, dan akhirnya kita akan kehilangan jiwa-jiwa kita sebagai mahluk zoon politicon. Karena ruang-ruang publik yang bisa digunakan sebagai ruang berekspresi dan bersosialisasi, semakin hari semakin termarjinalkan, terkurung di dalam dinding-dinding rumah kita. Lalu, siapa yang mestinya bertanggungjawab dalam hal ini?
Imam (23), warga serang mengungkapkan kegalauan hatinya melihat kota Serang yang semakin kehilangan identitas sebagai ibu kota provinsi, karena tidak ada bedanya dengan kota-kota lain. Bentuk bangunan, mal, pasar, taman, semuanya sama. “Sebagai ibukota provinsi, kota Serang harusnya berkarakter dan tentu saja harus memberikan kenyamanan dan keramahan pada warganya. Kalo ditanya yang mesti bertanggung jawab siapa? Tentu saja kita semua yang harus bertanggungjawab, karena tidak menganggap penting ruang-ruang yang ada di kota ini. Kita membiarkan saja alun-alun tidak menarik, membiarkan gedung-gedung tua di ganti tempat-tempat perbelanjaan, dan membiarkannya hancur, harusnya kita bereaksi ketika ruang-ruang itu hilang,” ungkap pemuda yang bekerja di mini market ini.
Lain halnya dengan Ade Jaya Suryani MA, staf di Bantenology IAIN SMH Banten. Ade mengungkapkan, yang harus bertanggungjawab adalah walikota sebagai pimpinan tertinggi di kota. Bagaimanpun otoritas tertinggi untuk membuat kota ini nyaman dan berkarakter adalah pucuk pimpinanya. “Jika tujaunnya baik dan visi misinya jelas, warga kota pasti mendukung,” tambah akademisi yang menyelesaikan S2-nya di Universitas Leiden Belanda ini.
FAKTA SEJARAH
Ketika membaca ulang sejarah kota Serang, fakta sejarah mengatakan bahwa serang merupakan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat kebudayaan, baik pada zaman kesultanan, zaman kolonial, maupun pada zaman kemerdekaan. Kita tidak bisa memungkiri itu. Bukti-bukti sejarah berupa bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh di sepanjang jalan protokol kota ini; kantor Residen Banten (sekarang; Gubernur Banten), Kantor Bupati Serang, Gedung Osvia (sekarang: Markas Polres Serang), gedung “Joeang” 45, Noormale School yang kini menjadi Markas Korem Maulana Yusuf. Sebagai pusat dari ketiganya, seharusnya itu dijadikan sebagai latar belakang Rencana Tata bangun dan Lingkungan (RTBL) Kota Serang.
Beberapa Gedung tua sudah hilang atau berganti dengan bangunan-bangunan lain yang dianggap lebih punya nilai bisnis. Seperti rumah dinas dokter di Alun-alun selatan Serang, berubah jadi Hotel Mahadria, Tiang Gantungan di depan Kantor Gubernur hilang tak berjejak, Markas Kodim 0602 Maulana Yusuf yang dulunya adalah salasatu hotel Belanda dan markas PWI berubah jadi Ramayana Mal Serang, bioskop Merdeka di Royal jadi pertokoan dan kurang berfungsi, dan Pelita Theatre di Pasar Lama sebentar lagi mengalami hal serupa. Padahal menurut PP nomor 35 tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya, pasal 27 ayat 2: Bahwa setiap pemugaran harus memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, tata letak, serta nilai sejarahnya.
Ade (47), seorang buruh pengangkut kayu balok menyayangkan jika pemerintah menghancurkan gedung-gedung tua. “Gedung-gedung tua itu seharusnya dilestarikan bukan dihancurkan,” tutur bapak 5 anak dan 6 cucu ini.
Hal yang sama dkatakan oleh Smus (37), seorang pendatang. “ Justru saya merasa nyaman tinggal di Serang karena banyak gedung tuanya,” ungkap nelayan di Pelabuhan Karanghantu ini. “Tapi, sekarang mulai tidak nyaman, nih.”
KARAKTER BUDAYA
Dalam Forum Design Seminar Tata kota Serang yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Banten, Pemkot Serang, dan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Banten pada Kamis (29/10), bertempat di Ruang Krakatau Hotel Le Dian, Ridwan Kamil, ST selaku pembicara menjelaskan, bahwa kota yang berkarakter adalah kota yang mempunyai ciri khas.
Saat di wawancra wartawan www.rumahdunia.com Ridwan Kamil menegaskan, “Ciri khas Serang sangat jelas sekali, yaitu banyaknya bangunan peninggalan masa kolonial. Maka benda cagar budaya ini harus tetap dipertahankan untuk pembentukan karakter!”
Orang-orang di luar kota serang ketika melihat gedung Osvia, Pendopo Gubernur, Pendopo Kabupaten Serang, Gedung “Joeang”, maka mereka akan cepat mengidentifikasi kalau itu kota Serang. “Jika gedung-gedung ini hilang, maka Serang adalah kota yang tidak berkarakter. Karena akan sama saja dengan kota-kota yang lainnya. Kita hanya melihat pusat perdagangan dimana-mana dengan model yang tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain. Kota ini akan terasa membosankan karena tidak adanya oase,” jelas lelaki yang selain berprofesi sebagai konsultan, juga sebagai dosen jurusan arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Mesjid Agung Serang mestinya bisa jadi ikon
Duturkannya pula, kota-kota yang mempunyai kebudayaan yang tinggi di dunia selalu punya “mark” atau tanda. Paris dengan menara Eiffel-nya, Roma dengan menara Pisa-nya, London dengan Big Ben-nya, serta kota-kota lainnya. Jika gedung-gedung itu dibiarkan lestari maka kota Serang akan memiliki level yang sama dengan kota-kota indah itu. “Tapi persoalannya berani tidak pemerintah kota melindungi itu sebagai aset yang berharga dan tidak tergiur oleh iming-iming uang yang besar atas nama investasi?” ujarnya di akhir kata.
Gol A Gong, praktisi TV yang juga hadir di dikusi juga mengatakan hal sama. “Jika Serang terus menerus mengumumklan bagunan-bangunan tunya lewat brosur pariwisata, promo air di TV, di koran-koran, di baliho, di mana saja, dengan sau jenus bngunan khasnya, misalnya Gedoeng Joeang atau Gubernuran, maka orang yang datang ke Serang akan mencari gedung itu. Gedung Sate di Bandung sudah melegenda. Jika melihat Gedug Sate, tanpa diberi tahu pun, kita akan tahu itu Bandung, bukan Jayapura. Dan saya kalau ke Bandung tidak foto-foto dengan latar belakang Gedung Sate, terasa kurang afdol. Nah, Serang? Tauk, ah, gelap!”
Sebagai warga kota, kita hanya bisa menunggu. Menunggu pemimpin yang tahu visi misi memimpin, menunggu kota ini berkarakter, atau bahkan menunggu gedung-gedung tua itu habis terjual dan berganti dengan mal-mal yang sangat megah, tapi membosankan.
Ah bosan! (Rimba Alangalang/Laporan Ahmad Wayang dan Roy Goozli)
Sumber :
Gola Gong
http://rumahdunia.com/isi/2009/11/16/kota-serang-yang-tidak-berkarakter/
16 November 2009
Senin, 30 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar