Senin, 30 November 2009

Masjid Agung Banten

Masjid ini didirikan sekitar tahun 1552-1570 m saat pemerintahan sultan Maulana Hasnuddin. Bangunan Masjid berbentuk bujursangkar dengan atap tumpang dan berserambi di kanan dan kiri bangunan utama. Dihalaman masjid terdapat kompleks pemekaman keluarga Sultan, Pada sisi selatan terdapat tiyamah yang bercorak bangunan eropa, Hal ini terjadi karena bangunan tersebut dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda dalm ragka pendekatan kepada Sultan.Tyamah ini berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dalam pembahasan masalah-masalah keagaman juga kemasyarakatan. Masjid ii berloksi di desa Banten, kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang.

Sumber:
Direktori masjid Bersejarah, Departemen Agama RI, Jakarta 2008 dalam :

http://wisatasejarah.wordpress.com/2009/09/07/masjid-agung-banten/

Kota Serang Resmi Terbentuk

Daerah Otonom Kota Serang, Banten, resmi terbentuk. Lahirnya daerah otonom baru di Banten ini ditandai dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Kota Serang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (17/7).

"Alhamdulillah, perjuangan warga Serang selama enam bulan ini tercapai sudah. Kota Serang sudah resmi terbentuk," ujar Ketua Tim Percepatan Pembentukan Kota Serang, Edy Mulyadi.

Edy mengatakan pembentukan Kota Serang sangat dibutuhkan, bukan untuk kepentingan elite tertentu, tapi seluruh warga Kota Serang nantinya. "Dari awal kami sudah tekankan tujuan dibentuknya Kota Serang adalah menyejahterakan warga Kota Serang." katanya.

Kota Serang akan meliputi enam kecamatan, yakni Kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Curug, Taktakan, Kasemen dan Walantaka, dengan 20 kelurahan dan 49 desa. Jumlah penduduk wilayah ini sebanyak 543 ribu jiwa.

Asisten Bidang Pemerintah Pemprov Banten, Asmudji, mengatakan dalam waktu dekat ini pihaknya akan mengiventarisir pengalihan aset dari Pemerintah Kabupaten Serang ke Kota Serang.

"Ada beberapa aset yang secara otomatis harus dialihkan setelah Kota Serang terbentuk," kata Asmuji. Selain itu, Pemerintah Provinsi Banten tengah mengkaji sejumlah nama yang akan ditempatkan sebagai pelaksana tugas Wali Kota Serang.

"Beberapa kepala biro ada yang golongannya sudah memumpuni, kini digodok untuk ditunjuk sebagai plt Wali Kota," kata Asmudji. Terkait inventarisasi siapa saja calon penjabat itu, Asmuji mengatakan hal itu kewenangan Gubernur.


Sumber :
Faidil Akbar
http://www.tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2007/07/17/brk,20070717-103876,id.html
17 Juli 2007

Kota Serang yang Tidak Berkarakter

Mungkin masih kuat tertanam ingatan di dalam kepala kita, ketika Undang-undang Nomor 23 tahun 2000 tentang Provinsi Banten yang disambut dengah haru itu lahir, dan menetapkan Serang sebagai ibu kota provinsinya, maka sejak itu gagasan dan keinginan pembentukan Kota Serang mewacana. Lazimnya sebuah ibu kota provinsi adalah kota otonom. Walau, kadangkala tidak pernah terlepas dari kepentingan elit politik Banten untuk berbagi “kue-kue” kekuasaan.

KARAKTER KOTA

Saat ini tidak penting lagi kita setuju atau tidak. Toh, anggukan dan gelengan kepala kita tidak akan berarti apapun. Kota ini telah legal berdiri pada hari Selasa 17 Juli 2007 dan RUU Serang disahkan oleh DPR/MPR-RI menjadi Undang Undang Nomor 32 tahun 2007 dengan pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya mengandalkan sektor jasa dan perdagangan. Mal-mal berdiri di sana-sini dengan dalih mendongkrak PAD. Sisanya “utang” belanjanya tentu saja wajib dibebankan pada rakyat; retribusi Kartu Tanda Penduduk (KTP), akta keluarga, kelahiran, dan pengurusan surat-surat lainnya yang seharusnya gratis malah menjadi bisnis yang menggiurkan bagi pemerintah kota.

Di sisi yang lain, dalih mengeruk PAD ternyata mengorbankan sisi lain kota ini; fungsi sosial dan fungsi budaya di(ter)lupakan. Kita jadi kehilangan trotoar untuk berjalan kaki, kehilangan ruang terbuka hijau berganti dengan pertokoan, kehilangan pandangan karena terhalang oleh baligo-baligo yang bertebaran di sepanjang jalan, kehilangan alun-alun yang nyaman, kehilangan bioskop, kehilangan gedung-gedung tua, dan akhirnya kita akan kehilangan jiwa-jiwa kita sebagai mahluk zoon politicon. Karena ruang-ruang publik yang bisa digunakan sebagai ruang berekspresi dan bersosialisasi, semakin hari semakin termarjinalkan, terkurung di dalam dinding-dinding rumah kita. Lalu, siapa yang mestinya bertanggungjawab dalam hal ini?

Imam (23), warga serang mengungkapkan kegalauan hatinya melihat kota Serang yang semakin kehilangan identitas sebagai ibu kota provinsi, karena tidak ada bedanya dengan kota-kota lain. Bentuk bangunan, mal, pasar, taman, semuanya sama. “Sebagai ibukota provinsi, kota Serang harusnya berkarakter dan tentu saja harus memberikan kenyamanan dan keramahan pada warganya. Kalo ditanya yang mesti bertanggung jawab siapa? Tentu saja kita semua yang harus bertanggungjawab, karena tidak menganggap penting ruang-ruang yang ada di kota ini. Kita membiarkan saja alun-alun tidak menarik, membiarkan gedung-gedung tua di ganti tempat-tempat perbelanjaan, dan membiarkannya hancur, harusnya kita bereaksi ketika ruang-ruang itu hilang,” ungkap pemuda yang bekerja di mini market ini.

Lain halnya dengan Ade Jaya Suryani MA, staf di Bantenology IAIN SMH Banten. Ade mengungkapkan, yang harus bertanggungjawab adalah walikota sebagai pimpinan tertinggi di kota. Bagaimanpun otoritas tertinggi untuk membuat kota ini nyaman dan berkarakter adalah pucuk pimpinanya. “Jika tujaunnya baik dan visi misinya jelas, warga kota pasti mendukung,” tambah akademisi yang menyelesaikan S2-nya di Universitas Leiden Belanda ini.

FAKTA SEJARAH

Ketika membaca ulang sejarah kota Serang, fakta sejarah mengatakan bahwa serang merupakan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat kebudayaan, baik pada zaman kesultanan, zaman kolonial, maupun pada zaman kemerdekaan. Kita tidak bisa memungkiri itu. Bukti-bukti sejarah berupa bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh di sepanjang jalan protokol kota ini; kantor Residen Banten (sekarang; Gubernur Banten), Kantor Bupati Serang, Gedung Osvia (sekarang: Markas Polres Serang), gedung “Joeang” 45, Noormale School yang kini menjadi Markas Korem Maulana Yusuf. Sebagai pusat dari ketiganya, seharusnya itu dijadikan sebagai latar belakang Rencana Tata bangun dan Lingkungan (RTBL) Kota Serang.

Beberapa Gedung tua sudah hilang atau berganti dengan bangunan-bangunan lain yang dianggap lebih punya nilai bisnis. Seperti rumah dinas dokter di Alun-alun selatan Serang, berubah jadi Hotel Mahadria, Tiang Gantungan di depan Kantor Gubernur hilang tak berjejak, Markas Kodim 0602 Maulana Yusuf yang dulunya adalah salasatu hotel Belanda dan markas PWI berubah jadi Ramayana Mal Serang, bioskop Merdeka di Royal jadi pertokoan dan kurang berfungsi, dan Pelita Theatre di Pasar Lama sebentar lagi mengalami hal serupa. Padahal menurut PP nomor 35 tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya, pasal 27 ayat 2: Bahwa setiap pemugaran harus memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, tata letak, serta nilai sejarahnya.

Ade (47), seorang buruh pengangkut kayu balok menyayangkan jika pemerintah menghancurkan gedung-gedung tua. “Gedung-gedung tua itu seharusnya dilestarikan bukan dihancurkan,” tutur bapak 5 anak dan 6 cucu ini.

Hal yang sama dkatakan oleh Smus (37), seorang pendatang. “ Justru saya merasa nyaman tinggal di Serang karena banyak gedung tuanya,” ungkap nelayan di Pelabuhan Karanghantu ini. “Tapi, sekarang mulai tidak nyaman, nih.”


KARAKTER BUDAYA

Dalam Forum Design Seminar Tata kota Serang yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi Banten, Pemkot Serang, dan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Banten pada Kamis (29/10), bertempat di Ruang Krakatau Hotel Le Dian, Ridwan Kamil, ST selaku pembicara menjelaskan, bahwa kota yang berkarakter adalah kota yang mempunyai ciri khas.

Saat di wawancra wartawan www.rumahdunia.com Ridwan Kamil menegaskan, “Ciri khas Serang sangat jelas sekali, yaitu banyaknya bangunan peninggalan masa kolonial. Maka benda cagar budaya ini harus tetap dipertahankan untuk pembentukan karakter!”

Orang-orang di luar kota serang ketika melihat gedung Osvia, Pendopo Gubernur, Pendopo Kabupaten Serang, Gedung “Joeang”, maka mereka akan cepat mengidentifikasi kalau itu kota Serang. “Jika gedung-gedung ini hilang, maka Serang adalah kota yang tidak berkarakter. Karena akan sama saja dengan kota-kota yang lainnya. Kita hanya melihat pusat perdagangan dimana-mana dengan model yang tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain. Kota ini akan terasa membosankan karena tidak adanya oase,” jelas lelaki yang selain berprofesi sebagai konsultan, juga sebagai dosen jurusan arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.


Mesjid Agung Serang mestinya bisa jadi ikon
Duturkannya pula, kota-kota yang mempunyai kebudayaan yang tinggi di dunia selalu punya “mark” atau tanda. Paris dengan menara Eiffel-nya, Roma dengan menara Pisa-nya, London dengan Big Ben-nya, serta kota-kota lainnya. Jika gedung-gedung itu dibiarkan lestari maka kota Serang akan memiliki level yang sama dengan kota-kota indah itu. “Tapi persoalannya berani tidak pemerintah kota melindungi itu sebagai aset yang berharga dan tidak tergiur oleh iming-iming uang yang besar atas nama investasi?” ujarnya di akhir kata.

Gol A Gong, praktisi TV yang juga hadir di dikusi juga mengatakan hal sama. “Jika Serang terus menerus mengumumklan bagunan-bangunan tunya lewat brosur pariwisata, promo air di TV, di koran-koran, di baliho, di mana saja, dengan sau jenus bngunan khasnya, misalnya Gedoeng Joeang atau Gubernuran, maka orang yang datang ke Serang akan mencari gedung itu. Gedung Sate di Bandung sudah melegenda. Jika melihat Gedug Sate, tanpa diberi tahu pun, kita akan tahu itu Bandung, bukan Jayapura. Dan saya kalau ke Bandung tidak foto-foto dengan latar belakang Gedung Sate, terasa kurang afdol. Nah, Serang? Tauk, ah, gelap!”

Sebagai warga kota, kita hanya bisa menunggu. Menunggu pemimpin yang tahu visi misi memimpin, menunggu kota ini berkarakter, atau bahkan menunggu gedung-gedung tua itu habis terjual dan berganti dengan mal-mal yang sangat megah, tapi membosankan.

Ah bosan! (Rimba Alangalang/Laporan Ahmad Wayang dan Roy Goozli)


Sumber :
Gola Gong
http://rumahdunia.com/isi/2009/11/16/kota-serang-yang-tidak-berkarakter/
16 November 2009

Kesultanan Banten

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.


Sejarah

Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.

Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung

Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.


Daftar Pemimpin Kesultanan Banten

Sunan Gunung Jati
Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
Maulana Yusuf 1570 - 1580
Maulana Muhammad 1585 - 1590
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.[2])
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Aliyuddin II (1803-1808)
Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Muhammad Rafiuddin (1813-1820)


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banten